Kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) di RSHS, Bandung, berbuntut panjang. Selain menghadapi proses hukum pidana, dokter bernama Priguna Anugerah P ini juga terancam sanksi etik yang serius dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ketua IDI Jawa Barat, Moh Luthfi, menjelaskan bahwa Priguna adalah seorang dokter umum yang sedang menempuh pendidikan spesialis. Saat ini, IDI sedang melakukan pembahasan di majelis etik kedokteran untuk menentukan langkah-langkah yang perlu diambil terkait kasus ini. Sanksi etik yang mungkin diberikan bisa sangat berat, termasuk pencabutan keanggotaan IDI secara permanen.
“Masalahnya ini bukan hanya pidananya saja, tapi juga terkait etika kedokteran, itu yang lebih berat,” ujar Luthfi. Ia menambahkan bahwa IDI akan menunggu hasil penyelidikan polisi sebelum mengambil keputusan final. Jika status hukum Priguna sudah ditetapkan, IDI akan segera memberikan sanksi tegas, termasuk kemungkinan pemecatan sebagai anggota IDI.
Apa saja sanksi etik yang mungkin dihadapi dokter yang melanggar kode etik?
Sanksi etik dalam dunia kedokteran dirancang untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini. Pelanggaran kode etik bisa berakibat pada berbagai konsekuensi, mulai dari yang ringan hingga yang paling berat. Beberapa sanksi yang mungkin dihadapi seorang dokter yang melanggar kode etik antara lain:
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Jawa Barat juga memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, Hasbullah Fudail, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan sejumlah langkah, termasuk meminta keterangan dan informasi dari pihak RSHS Bandung, Universitas Padjadjaran, hingga kepolisian.
Kemenkumham menilai tindakan Priguna bukan hanya melanggar etika profesi, tetapi juga berpotensi menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bagi pasien dan keluarganya yang menjalani pengobatan di rumah sakit. Dalam peristiwa tersebut termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia bagi masyarakat dan keluarganya yang menjalani pengobatan di rumah sakit khususnya di RSHS Bandung, ucap Hasbullah.
Bagaimana kasus ini bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?
Kasus ini berpotensi menjadi pelanggaran HAM karena beberapa alasan:
Kemenkumham menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukan HAM di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Kasus ini menjadi perhatian serius karena menyangkut profesi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan moral.
Apa dampak kasus ini terhadap citra profesi dokter di Indonesia?
Kasus ini tentu saja memberikan dampak negatif terhadap citra profesi dokter di Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap dokter sebagai tenaga medis yang profesional dan beretika bisa terkikis akibat kasus ini. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:
IDI sebagai organisasi profesi dokter memiliki tanggung jawab besar untuk memulihkan citra profesi ini. Salah satu caranya adalah dengan memberikan sanksi tegas terhadap dokter yang melanggar kode etik dan meningkatkan edukasi tentang etika profesi kepada seluruh anggota.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh tenaga medis di Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi etika profesi dan menjaga kepercayaan masyarakat. Tindakan tegas terhadap pelaku pelanggaran etik diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.