
Transenden ( bahasa Inggris : transcendent ; bahasa Latin : transcendere ) merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang dapat ditemukan di alam semesta . [ 1 ] Contohnya, pemikiran yang mempelajari sifat Tuhan yang dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil dipahami manusia. [ 2 ]
Etimologi
Transenden terdiri dari dua kata: kata "trans" yang berarti seberang, melampaui, atas, dan kata "scandere" yang berarti memanjat. [ 1 ] Istilah ini bersama-sama dengan bentuk-bentuk lain seperti "transendental", "transendensi", dan "transendentalisme", digunakan dengan sejumlah cara, dan dengan sejumlah penafsiran tersendiri dalam sejarah filsafat. [ 1 ] Beberapa pengertian dari transenden adalah: lebih unggul, agung, melampaui, superlatif, melampaui pengalaman manusia, berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pangalaman biasa dan penjelasan ilmiah. [ 2 ]
Penggunaan kata
Filsafat dan agama
Para filsuf yang memiliki ide transenden tentang Tuhan dimulai dari Pythagoras , Plato , Philo Judaeus yang mengatakan bahwa Allah yang transenden memiliki sifat bertolak belakang dengan Allah yang imanen seperti diyakini oleh Stoikisme dan Panteisme . [ 1 ] Immanuel Kant juga pernah memakai istilah ini untuk menggambarkan adanya unsur yang memberikan inspirasi gagasan kepada manusia untuk berpikir tentang dunia yang supratemporal. [ 1 ] Dalam arti inilah Kant menggunakan istilah "estetika transendetal" dan "logika transendetal." [ 1 ]
Menurut Rudolf Otto , sewaktu mengalami yang transenden, manusia mengalami dua perasaan yang bertentangan. [ 3 ] Di satu sisi manusia merasa sangat tertarik karena pesona fascinosum, tetapi di sisi lain ia merasakan gemetar dan ketakutan karena yang transenden itu tremendum, yaitu memiliki daya pemaksaan dan menakutkan. [ 3 ] Sewaktu mengalami yang transenden itu, manusia akan lupa siapa dirinya terhanyut pada yang transenden dan menikmati perjumpaan dengannya. [ 3 ]
Istilah Tuhan yang transenden artinya Tuhan melampaui dunia ini, hal ini berseberangan dengan keyakinan tentang Tuhan yang berada dalam realitas dunia ini yang disebut imanen . [ 2 ] Namun, beberapa pemikir kemudian mengkombinasikan pemikiran Tuhan yang transenden sekaligus imanen, Tuhan ada di dunia ini sekaligus melampaui dunia ini. [ 2 ]
Frans Magnis Suseno menguraikan relasi Tuhan yang transenden itu dengan dunia. [ 4 ] Yang pertama, hubungannya memang bersifat transenden, artinya eksistensinya tidak bergantung pada dunia karena ia tak terbatas dan tak terhingga. [ 4 ] Namun, yang ilahi dan transenden itu sekaligus juga imanen, artinya ia meresapi apa pun yang ada, tak ada tempat di dunia ini di mana yang ilahi tidak hadir di situ. [ 4 ] Hal ini berarti, yang ilahi dibedakan dari dunia bukan seperti dua benda, atau dua objek, dibedakan satu dari yang lain. [ 4 ] Dunia yang terbatas ini memang bergantung pada ilahi yang tak terbatas sehingga Allah menjadi penunjang adanya dunia. [ 4 ] Dalam bahasa sederhana: Tuhan itu, sebagai yang transenden, di mana-mana tidak ada, dan sekaligus yang imanen, di mana-mana ada. [ 4 ]
Matematika
Istilah transenden juga digunakan dalam bidang matematika merujuk pada bilangan yang tak terhingga. [ 5 ] Misalnya bilangan "π" yang biasanya dibulatkan menjadi 3,14 sesungguhnya memiliki pecahan yang tak dapat didefinisikan. [ 5 ] Sebuah bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan sembarang persamaan polinomial dengan koefisien-koefisien bilangan bulat disebut bilangan transenden, artinya tak terhitung atau tak terhingga. [ 5 ]
Rujukan
- ^ a b c d e f (Indonesia) Lorens Bagus., Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1996, Hal. 1118-1119
- ^ a b c d {en}}Robert Audi., The Cambridge Dicitonary of Philosophy. Edinburg: Cambridge University Press, Hal. 807-808
- ^ a b c (Indonesia) Agus M. Hardjana., Religiositas, Agama, Dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, 2005, Hal. 30
- ^ a b c d e f (Indonesia) Feans Magnis Suseno., Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006, Hal. 192-193
- ^ a b c (Indonesia) Robert Wrede dan Murray R. Spiegel., Kalkulus Lanjut, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, Hal. 5